Senin, 27 April 2009

Stop Tayangan Kekerasan dan Seks di Televisi

Berita kematian seorang bocah karena di “smack down” kawannya sendiri telah
menghebohkan masyarakat kita. Kemudian hal ini dikaitkan dengan sejumlah tayangan kekerasan yang memang akhir-akhir ini marak di beberapa stasiun televisi. Bahkan pemberitaan soal implikasi dari tayangan yang berbagai kekerasan di televisi semakin gencar dilakukan.

Sesungguhnya, kasus ini bukanlah tunggal. Bahkan, tercatat ada banyak lagi kasus-kasus yang hampir sama, terjadi di beberapa daerah di tanah air. Setiap hari kita bisa menyaksikan lewat pemberitaan media massa, khususnya media cetak, bahwa kasus-kasus serupa, sudah banyak terjadi. Lantas kita patut bertanya, bagaimanakah sesungguhnya kontribusi dari dunia pertelevisian kita dalam membangun generasi bangsa ini, khususnya para pelajar? Mendidik atau menghancurkan!

Perihal tayangan kekerasan di televisi, sesungguhnya sudah lama diributkan. Berbagai masukan dari sejumlah elemen masyarakat sudah banyak dilayangkan. Tetapi, oleh pihak pertelevisian, tidak pernah digubris sama sekali. Dengan demikian, jadilah tayangan yang tak pantas ditonton anak-anak, banyak menghiasi layar televisi kita. Maka, tanpa bersusah payah, kita dengan gamblang dapat menemukan dampaknya. Misalnya, kekerasan terjadi di mana-mana.

Kemudian ada satu jenis tontonan lagi yang belakangan ini marak terjadi di sejumlah stasiun televisi; yaitu tayangan yang berbau seksualitas. Bahkan tayangan tersebut terkesan sangat vulgar dan ditayangkan pada jam-jam yang belum bisa disebut larut malam. Maka dengan demikian, anak-anak dengan muda bisa melihat adegan-adegan seronok di televisi. Belum lagi ditambah dengan maraknya gambar-gambar porno yang terpampang di sejumlah media.

Tayangan dan pemberitaan seksualitas makin marak. Yayasan Kita dan Buah Hati menyebut bahwa 80 persen anak Indonesia terpapar pornografi. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi di masa yang akan datang, jika 80 persen anak-anak kita telah terjangkit “penyakit” pornografi. Maka dengan demikian, kita tidak terlalu terkejut dengan beredarnya rekaman video mesum salah seorang anggota DPR dengan artis dangdut, yang heboh awal bulan ini.

Khususnya kepada anak, tentu tayangan yang layak dinikmati haruslah sifatnya membimbing. Bukan yang berbau porno dan kekerasan. Jika pengawasan dan bimbingan dari orang tua dapat berlangsung dengan efektif, tentu dampaknya tidak terlalu besar. Tetapi itu pun harus tetap diwaspadai. Namun, jika waktu orang tua bersama sang anak, dibarengi lagi dengan komunikasi yang tidak lancar, maka si anak akan dengan cepat untuk mengetahui apa sebenarnya di balik tayangan berbau seksualitas tersebut. Dan kemudian, cepat atau lambat, si anak akan semakin tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Bisa ditebak apa yang terjadi kemudian.

Banyaknya kejadian-kejadian hamil di luar nikah bagi kalangan pelajar, kemudian pelecehan seksual yang melibatkan siswa SD, adalah bukti bahwa tindakan-tindakan yang berkaitan dengan seksualitas sudah merupakan hal yang mengancam moral anak-anak. Seksualitas bukanlah hal yang baru. Apalagi didukung dengan kemajuan teknologi komunikasi, khususnya handphone, yang salah digunakan. Gambar-gambar porno gampang direkam.

Kita berharap bahwa pihak pengelola stasiun televisi kita dapat menghentikan tayangan yang mengandung unsur kekerasan dan seksualitas. Sebab tak dapat dipungkiri, sudah banyak efek yang ditimbulkannya. Pemerintah harus cepat mengambil tindakan, jika pihak pengelola stasiun televisi tidak segera merubah tayangannya. Kita mengharapkan agar tayangan kekerasan dan seks dapat dihentikan. Sebab, jika tidak, maka dampak-dampak yang jauh lebih dahsyat lagi akan banyak terjadi. Dengan demikian, kehancuran generasi bangsa ini, tinggal menunggu waktu. (*)

Tidak ada komentar: